TERAPI URINE
Dari praktek
keseharian, penyembuhan dengan urine memang tidak diragukan lagi. Walaupun
demikian, sampai saat ini belum ada penjelasan yang pasti, bagaimana Urine bisa
menyembuhkan hampir semua penyakit. Dari penelitian yang ada bisa dipastikan, bahwa urine 100% steril, tidak
terkontaminasi oleh kuman, virus ataupun racun yang membahayakan tubuh.
Komponen urine adalah, 95% air, 2,5% urea dan sisanya (Ca 2,5%) terdiri dari
mineral, asam amino, vitamin, garam, antibodi, antigen, enzim, hormon dan
lain-lain. Untuk itu proses penyembuhan dengan air seni sampai sekarang
hanya berupa hipotesa-hipotesa.
Ada satu
kesepahaman dari para peneliti dan pakar Tass (Terapi Air Seni Sendiri), bahwa
penyembuhan dengan urine adalah dengan pendekatan holistik. Artinya penyembuhan
dibagun berdasarkan pengembalian keseimbangan fungsi organ tubuh dengan
mengoptimalkan sistem pertahanan tubuh. Tidak seperti penyembuhan dengan
pengobatan kimia (medis) yang harus selalu memperhitungkan efek samping (karena
cara kerja sistem menghancurkan bagian yang sakit), pada penyembuhan dengan
paham holistik yang ada adalah tindak balas/ reaksi tubuh. Tindak balas terjadi
dari beberapa kemungkinan, misalnya karena reaksi tubuh dalam mengoptimalkan
system kekebalannya, pembuangan racun-racun yang mengendap dalam tubuh
(detoksifikasi) dan lain sebagainya. (Lihat tindak balas pada pengobatan
tradisional). Tindak balas yang mungkin timbul akibat pengobatan dengan urine
relative sama dengan tidak balas pada pengobatan tradisional lainnya,
diantaranya diare (mencret), mulas, kepala pusing, gatal di kulit dsb.
Secara garis besar hipotesa penyembuhan dengan urine bisa dibagi menjadi
dua kategori.
Pertama penyembuhan
dikarenakan unsur-unsur yang terdapat pada air seni seperti yang diutarakan di
atas. Hipotesis tersebut seperti:
- Penyerapan dan penggunaan kembali vitamin, mineral & nutrisi yang
bisa berpengaruh langsung pada penyakit hepatitis/kuning.
- Penyerapan kembali hormone kortikosteroid & Melantonin yaitu
berguna untuk mencegah infeksi, alergi sehingga bisa menyembuhkan eksim,
asthma, rematik, proriasis, dll
- Penyerapan kembali enzyme seperti urokinase sehingga bisa
menanggulangi penyakit arteriosclerosis, jantung koroner, emboli paru-paru
dan lainnya.
- Penyerapan kembali urea, dalam hal ini cairan amnion-glutamin yang
penting untuk otak, percernakan epitelmukosa dan meningkatkan sistem
imunologi serta penting untuk pelembab kulit, menyembuhkan luka, gagal
ginjal, dll.
Efek
Diuretika, yaitu rangsangan pada ginjal untuk memproduksi air seni dimana
zat-zat dalam urine didaur ulang . Dalam proses ini ginjal akan lebih
dibersihkan dan mencuci gula darah maupun menggalakkan detoksifikasi. Dalam
proses ini sangat membantu pada penyembuhan asam urat.
Beberapa efek
lainnya seperti Bakterisida & Virusida serta terapi garam. Pada efek ini
bisa mencegah adanya infeksi pada luka baru, mencegah lalat, asthma,
pencernakan, sembelit, menetralkan gula darah, dll.
Kedua bersifat
mekanistik. Sifat mekanistik ini bisa didasarkan pada teori transmutasi dimana
air seni ibarat sebagai cermin. Artinya pada setiap urine seseorang membawa
satu informasi tentang keadaan/kondisi tubuh/organ orang yang bersangkutan,
termasuk kelainan/kejanggalan serta penyakit yang diderita. Dengan masuknya
kembali urine ke tubuh (dimium, direndam, dikompres, dll), maka tubuh langsung
mengadakan biofeedback dan mengevaluasi serta langsung bereaksi yaitu
memberikan koreksi dan mengubah dengan kekuatan transmutasi dari zat-zat yang
tidak berguna di dalam urine menjadi zat yang berguna. Melalui transmutasi
demikian dihasilkan satu keseimbangan organ tubuh melalui pengobatan yang
otomatis. Itulah mungkin salah satu alasan, bahwa urine sendiri selalu lebih
manjur untuk pengobatan dibandingkan dengan urine orang lain. Karena urine kita
telah mengenali kondisi tubuh kita masing-masing dengan pasti.
TERAPI URINE
DALAM HUKUM ISLAM
Prolog
Harus diakui,
untuk mewujudkan konsumsi terapi urine tentu dimbangi penelitian terlebih
dahulun untuk pembuktian, mujarab tidaknya bila diterapkan kepada para
penderita penyakit ringan ataupun berat. Hal ini dikembangkan oleh spesialis
dengan metode-metode yang signifikan demi menerapkan aturan yang sesuai dengan
sumber daya (manusia) serta struktur yang menjadi kelebihannya (spesialis
terapi urine). Tujuannya agar membuat obat sebagai solusi bagi siapa saja
pengidap sakit atau bagi yang terganggu kesehatannya menjadi sehat kembali.[2]
Terbuktinya
perusahaan farmasi dan kosmetik yang terdapat di Amerika selalu memburu
penelitian ilmiah tentang khasiat urine untuk dijadikan bahan baku produk
urine. Layaknya, Dr. Dr. Iwan T Budiarso menjelaskan 95% kandungan urine
terdiri air. Sementara 2/5% lainnya mengandung mineral vitamin, asam amino,
antibodi, antigen, garam, hormon dan enzim. Zat-zat ini sangat dibutuhkan tubuh
manusia.
Urine hanya
mengandung zat-zat makanan dan hasil metabolisme tubuh. Sementara bahan-bahan
yang meracuni tubuh, disaring dan dikeluarkan melalui usus hati, hati jukit dan
pernafasan. Karena itu, kandungannnya steril.[3] Tawaran
pengobatan urine begitu menggiurkan, terutama bagi masyarakat kelas menengah ke
bawah, yang tidak bisa mengeluarkan terlalu banyak biaya ke dokter, karena persoalan
ekonomi yang menghimpit. Ternyata air seni yang dianggap menjijikkan, berbau
pesing, dan kotor ini, malah membuat tubuh sehat dan segar bugar.
Terapi urine
digunakan untuk menyembuhkan hampir setiap yang didera si pasien seperti
ginjal, kanker, diabetes, jantung, psoasiasis, eksim, sampai penyakit terganas
saat ini, AIDS. Jika parah, terutama bagi penderita penyakit kanker, jantung
dan AIDS, minimal 5 gelas (1000 cc) sehari. Atau, kalau si pasien menginginkan
kesegaran tubuh dan kecantikan kulit cukup dengan 1-2 gelas perhari. Caranya
cukup yang diminum harus urinenya sendiri[4]
Akan tetapi,
berbeda pula jika dipandang pada sudut Hukum Islam. Di dalam ajaran Islam masih
kita kenal dengan membedakan, mana yang najis, mana yang tidak najis. Mana yang
berhak di makan atau di minum. Mana yang haram dan mana yang halal. Oleh karena
itu, makna dari kemashlahatan dan kemafsadatan kerap saling tarik menarik
(legitimasi) demi menemukan titik kejelasan (benang merah) yang tertuang
(terlampir) di dalam ajaran Islam (syāri’); al-Quran, al-Hadits, dan
Fiqh.
Working Thought
Ajaran syariat
Islam mengajarkan manusia untuk tidak boleh berputus asa dan menganjurkan untuk
senantiasa berikhtiar (usaha) dalam menggapai karunia Allah swt., demikian
halnya di antara pasca-mashlahat yang diayomi oleh maqashidusy syariah (tujuan
filosofis syariah Islam) adalah hifdzun nafs (memelihara fungsi dan
kesucian reproduksi) bagi kelangsungan dan kesinambungan generasi umat Manusia.[5]
Allah berfirman di
dalam al-Quran:
Menurut Ibnul
Qayim menuntut umat Islam untuk menjauhinya dengan secagal cara. Sedangkan
pengambilan sesuatu yang haram sebagai obat konsekuensi dan efeknya adalah akan
mendorong orang yang menyukai dan menjamahnya yang tentunya hal ini
bertentangan dengan maksud dan tujuan Allah dalam menetapkan syarih-Nya.[7]
Selain itu,
Qayyim juga mengatakan bahwa mengkonsumsi makanan yang bergizi dan baik adalah
metode pengobatan yang ampuh, selain itu juga beliau mengutip perkataan
al-Harist bin Kaladah bahwa melindungi badan dan menjaga kesehatannya adalah
inti dari pengobatan itu sendiri.[8] Namun
demikian, Islam adalah agama rahmat dan tidak menginginkan umatnya celaka dan
membiarkannya binasa dalam kondisi darurat karena salah satu tujuan syariah
adalah hifdzun-nafs (memelihara kelangsungan hidup dengan baik).
Maka dalam
konteks ini, ada kaidah rukhsah (dispensasi) yang memberikan kelonggaran
dan keringanan bagi orang yang sakit gawat dengan ketentuan sebagaimana
dikemukakan Dr. Yusuf Al-Qardlawi yaitu sebagai berikut:[9]
Pertama, benar-benar
dalam kondisi gawat darurat bila seorang penderita penyakit tidak mengkonsumsi
sesuatu yang haram ini. Kedua, tidak ada obat alternatif yang halal
sebagai pengganti obat yang haram ini. Ketiga, menurut resep atau
petunjuk dokter muslim yang berkompeten dan memiliki integrasi moral dan agama.
Keempat, terbukti secara uji medis dan analisis ilmiah, di
samping pengalaman empiris yang membuktikan bahwa suatu yang haram tersebut
benar-benar dapat menyembuhkan bahkan dan tidak menimbulkan efek yang
membahayakan.
Dalam
pandangan Islam urine itu tidak baik dikonsumsi, sebagaimana Islam menyuruh
Manusia untuk mengkonsumsi makanan dan minuman yang sehat dan bergizi. Bukan
yang kotor dan membawa penyakit. Di dalam al-Quran disebutkan:
Baik dan buruk itu
ditentukan oleh syări’, karena dialah yang mengetahui segala sesuatunya.
Dia punya hak otoritas untuk menentukan halal dan haram. Bukan akal tabi’at
manusia. Seperti haramnya riba. Syara’ dan akal sama-sama berperan dalam
menetukan baik dan buruk. Yang menjadi standar adalah pengakuan dari syara’ dan
sesuai dengan tabi’at manusia. Apa yang tersurat baik oleh syara’, mesti di
dukung penuh akal sehat bahwa itu betul-betul baik. Sebab, tidak semua kehendak
perasaan itu sesuai dengan keinginan syara’. Perasaan berfungsi untuk
mengetahui apa yang sebetulnya diingini syara’.
Menyangkut
Hukum Terapi obat urine, Rasulullah menegur dengan hadits tentang
ketidakbolehan mengkonsumsi konsumsi urine, dikarenakan terdapat barang najis.
Berdasarkan hadits Nabi:
“Bersihkanlah (tubuh)
kalian dari kencing. Karena siksaan kubur pada umumnya gara-gara air seni.”
Di dalam al-Quran,
Allah berfirman:
“sesungguhnya Allah
tidak akan menjadikan obat (buat) kamu sekalian barang-barang yang diharamkan
(termasuk najis) bagi kalian”.
Lain halnhya,
kebolehkan memakai terapi urine, manakala terserang penyakit ganas; kanker
ganas, jantung dan AIDS yang sampai detik ini belum ditemukan obatnya wajib
minum air seni demi kelangsungan hidup manusia. Terutama, ketika lagi tidak ada
uang, serta sulit mencari dana untuk berobat.
Hal ini terlampir di
dalam al-Quran:
“Sungguh, Allah telah
menjelaskan apa-apa yang haram kalian makan kecuali terpaksa memakannya.”
Tidak salah,
urine tidak hanya diminum untuk menyembuhkan penyakit dalam. Tapi juga bisa di
gunakan untuk mempercantik dan mencegah rambut rontok. Bahkan sebagian kosmetik
kecantikan, bahan bakunya terdiri dari ekstra urine. Di dalam teori ushul fiqih
terapi urine diperbolehkan untuk penyakit keras, dari pada menyiksa tubuh
sendiri digerogoti (merusak tubuh) bertentangan dengan maqasyidusy-syari’ah
(hifzun nafs), lebih baik memberlakukannya (karena mengandung mashlahat).
Larangan menyentuh barang najis termasuk tahsiniyyat. Yaitu hal-hal yang
tujuannya memperindah diri agar tidak mengurai prestise (harga diri).
qNamun demikian, kalau
hanya diperuntukkan demi mempercantik diri, tidak dapat menghalnagi haram,
kalau luluran saja. Akan tetapi, jika terdapat jerawat, rambut rontok, maka
dianjurkan memakai terapi urine sebagai solusinya. Maka bukan lagi tahsiniyyat
melainkan hajiyyat (menghilangkan kesulitan diri). Ketika keduanya (tahsiniyyat
maupun hajiyyat) dihadapkan, tentu hajiyyat yang dimenangkan.
Yang terpenting, jika hanya untuk mempercantik tidak boleh mengkonsumsinya,
karena tidak ada kejelasan dalam penyakitnya.
Kendatipun,
urine mungkin tak hanya dari manusia, dari binatang tentu bisa menjadi. Adapun
hukum mengkonsumsi urine binatang yang halal dimakan daginya sebagai obat urine
unta, kambing, sapi, unggas dan burung maka pendapat yang paling kuat adalah
hal itu diperbolehkan dan halal karena urine tersebut suci dan tidak najis,
berbeda dengan urine binatang yang haram dimakan dagingnya maka hukum urinenya
juga haram dan najis. Akan tetapi, statement tersebut akan masih disegarkan
(kecam lewat kritikan) dengan pendapat-pendapat terkemuka yang lainnya.
Urine Menurut Ulama
Madzhab
Jika merujuk
pada interpretasi para madzahib, terdapat pergolakan pemikiran antara Imam
Syafi`i dan Imam Hanafi yang sama meneguhkan menyangkut terapi urine sebagai
obat. Imam Syafi’i masih toleran mengenai pengobatan urine (alternatif) karena
tidak ada lagi penyembuhan penyakit. Lain halnya, apabila masih ada obat yang
lebih baik dari urine, maka hukumnya tetap haram. Sesuai Hadits Rasul:
Selain itu, Imam
Hanafi bertolak belakang dengan Syafi’i, yang mana ia tetap membolehkan
mengkonsumsi air seni, jika untuk pengobatan. Jika terapi urine diberlakukan
dengan cara lain (tujuannya selain pengobatan), maka hukumnya haram (najis).
Sebagaimana terlampir dalam Hadits Rasul:[15]
نفرا من عرينة وهي قضبيلة معروفة بضم العين المهملة وبالن اثوا رسول الله صلى الله عليه وسلم فبا يعوه علي الاسلام فاسثوا خمراالمدينة, فسقمث اجسامهم فشكوا ذلك ءالى رسول الله فقال: الا ثخرجون مع راعينا في ابله فثصيبون من ابوالها والبا نها؟ قالوا بلى فخرجوا فشربوا من البا نها وابوالها فصحوا فقاثلوا راعى رسول الله صلى الله عليه وسلم.[16]
Maka akan jelas bahwa
Rasulullah masih memperbolehkan bagi orang-orang yang terkena penyakit untuk
mengkonsumsi kencing (unta) yang bercampurkan susu. Jikalau rasulullah
mengharamkan perbuatan tersebut, maka tidak ada lagi rukshah untuk
menggunakannya (dalam situasi apapun). Berdasarkan dengan kaidah Fiqhiyyah yang
berbunyi:
Dalam kesempatan yang
darurat, segala yang diharamkan masih ada kesempatan untuk mengerjakannya
(memakan binatang bertaring manakala tidak ada lagi yang akan dimakan “di
hutan”. Dari pada mati sia-sia “bertentangan dengan hifdzun nafs”, maka tidak
ada salahnya memakan hewan yang menjadi alternatif. Namun, walaupun dalil yang
diteguhkan oleh Hanafi itu menjadi benteng sebagai jawabannya, kiranya masih
kurang kuat diterapkan di ruang publik. Kendatipun demikian, dalil yang
digunakan Hanafi masih belum menguatkan persoalan terapi urine, dikarenakan
riwayat hadits tersebut hanya ditopang oleh Anas ra, walaupun secara spesifik hadits
tersebut tsiqoh, namun masih dalam lingkup hadits shahih.
Epilog
Dari pemaparan
di atas, terapi urine masih terdapat pergolakan status sebagai obat terapi
penyakit alternatif yang masih di antara mashlahat dan mafsadat. Namun, kajian
hukum Islam tidak sekedar dipahami secara parsial (normatif) melainkan
ditautkan pada konteks (rasional) demi menyeimbangi persoalan yang melilit
manusia setiap waktu. Setiap sesuatu larangan-Nya pasti ada solusi (darurat)
yang menghalalkan apa yang menjadi ketepan sebelumnya (larangan memakan akibat
diharamkan-Nya).
DAFTAR PUSTAKA
Al-Suyuti, Al-Jami’ al-Shaghir, juz I, 517
dan Al-Nawawi, Al-Majmu’, juz II.
Al-Bukhari, Matn al-Bukhari, juz III.
Budi Utomo, Setiawan, Fiqih Aktual, Jakarta:
Gema Insani Press, 2003.
Chatarina Pancer Istiani, Tubuh dan bahasa, Aspek
Linguistik Pengungkapan Pandangan Masyarakat Lewolema Terhadap Kesehatan,
(Yogyakarta: Galang Pres Anggota IKAPI, 2004.
Dewan Asatid, Hukum Terapi Air Seni dan Kesehatan
kita, www. Pesantren Virtual. Com.
Muhammad bin Ismail, Al Bukhori Sahih al-Bukhori,
(Beirut: Dar al-Kutub Ilmiyah, 2004).
Maimoen Zubair, Formasi Nalar Fiqh Konsep Telaah
Kaidah Fiqh konseptual, (Surabaya: Khalista, 2006.
Yasin, Nu`aim, Fiqih Kesehatan, Alih Bahasa
Munirul Abidin, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006.
Yasid Abu, Fiqh Realitas, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005.
[1] Mahasiswa Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[2] Chatarina Pancer Istiani, Tubuh dan bahasa, Aspek
Linguistik Pengungkapan Pandangan Masyarakat Lewolema Terhadap Kesehatan,
(Yogyakarta: Galang Pres (Anggota IKAPI, 2004), hlm. 16.
[3] Yasid Abu, Fiqh Realitas, cet. ke-I
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 196-197
[4] Ibid.
[5] Setiawan Budi Utomo, Fiqih Aktual, cet. ke-I
(Jakarta: Gema Insani Press, 2003), hlm. 185-186.
[6] QS. Alam Nasyrah: 5-6
[7] Setiawan Budi Utomo, Fiqih Aktual, cet. ke-I
(Jakarta: Gema Insani Press, 2003), hlm. 185
[8] M. Nu`aim Yasin, Fiqih Kesehatan, Penerjemah
Munirul Abidin, MA, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), hlm. 15.
[9] Setiawan Budi Utomo, Fiqih Aktual, cet. ke-I
(Jakarta: Gema Insani Press, 2003), hlm. 185-186.
[10] Q.S. Al-A’rāf: (7): 157
[11] Al-Suyuti, Al-Jami’ al-Shaghir, juz I, 517 dan
Al-Nawawi, Al-Majmu’, juz II, hlm. 547-548.
[12] Al-Bukhari, Matn al-Bukhari, juz III, hlm. 325.
[13] Q.S. Al-A’ām (6): 119
[14] Al Bukhori Muhammad bin Ismail, Sahih al-Bukhori,
(Beirut: Dar al-Kutub Ilmiyah, 2004), hlm 1062.
[15] Dewan Asatid, Hukum Terapi Air Seni dan Kesehatan
kita, www. Pesantren Virtual. Com
[16] Al-Bukhori Muhammad bin Ismail, Sahih al-Bukhari,
(Beirut: Dar al-Kutub Ilmiyah, 2004), hlm. 106
[17] Maimoen Zubair, Formasi Nalar Fiqh Konsep Telaah
Kaidah Fiqh konseptual, (Surabaya: Khalista, 2006), hlm. 45
Terimaksih
kepada :
Oleh Fathorrazi (penulis Terapi Urine dalam
Islam),
Komentar
Posting Komentar